Hutang Harta, Luka Jiwa
Aku sekarang disuruh diam.
Kenapa?
Karena aku tidak punya uang.
Meskipun kamu punya ilmu? Kan kamu orangnya suka membaca.
Ya, meskipun aku punya ilmu, tapi kalau aku tidak punya uang maka suaraku tidak akan didengar, bahkan disuruh diam.
Oleh siapa? Siapa yang menyuruhmu diam?
Ya, tentu oleh keluargaku, siapa lagi kalau bukan mereka? Kenapa kamu disuruh diam… apa alasan mereka menyuruh kamu diam?
Untuk pertanyaan ini, jawabannya sangat panjang.
It’s oke, cerita aja!
Baiklah… ini adalah ceritaku.
Hari ini Kamis, 23 Oktober 2025, aku lagi ada masalah. Aku tidak tahu mau menceritakan masalahku kepada siapa, tapi aku pikir blog ini adalah tempat yang tepat untukku menceritakan semua masalah.
Saat aku tengah mempersiapkan diri untuk salat Zuhur, teman Ibuku datang memberi kabar tentang utang. Dia memberitahu Ibuku ada yang datang menawarkan pinjaman. Aku yang mendengarkan kalimat tersebut, hati dan pikiranku seketika tidak bisa tenang.
Tapi pada saat itu, aku hanya berani bertanya kepada Ibuku, apa itu Mamak? Dan Ibuku menjawab dengan satu kata yang semakin membuat hati dan pikiranku tidak tenang: “Bank” jawab Ibuku.
Aku tidak tahu apakah salat Zuhurku diterima atau tidak, karena sewaktu salat aku tidak tenang sama sekali. Terlebih lagi ketika aku masuk ke rakaat ketiga, aku mendengar ada seseorang bertamu ke rumah. Siapa dia?
Yups, tidak salah dan pasti benar, dia adalah orang yang menawarkan pinjaman kepada Ibuku. Kenapa aku begitu cemas dan tidak tenang ketika mendengar istilah “Bank” dan mendengarkan seseorang menawarkan pinjaman ke Orang Tuaku?
Karena Orang Tuaku, Ibuku, punya rekam jejak yang buruk dengan utang piutang. Seberapa buruk memangnya? Sangat-sangat buruk. Bahkan kalau aku boleh mengatakan kepribadianku yang sekarang adalah pribadi yang terbentuk karena kebiasaan Orang Tuaku yang berutang!
Maksudnya seperti apa, sampai perilaku atau kebiasaan Orang Tua yang berutang bisa membuat kepribadianmu seperti yang sekarang?
Dulu waktu aku masih SD, setiap kali aku mau pergi ke sekolah aku jalan kaki. Pernah suatu ketika di dalam perjalanan aku ke sekolah, orang tidak aku kenal datang menghampiriku dan mengatakan sebuah pesan dengan nada yang cukup keras.
Ketika dia sudah dekat denganku, dia bilang dengan suara keras, “Woi, suruh Ibumu bayar utang! Punya Ibu suka ngutang. Dasar!!”
Aku masih SD, dan aku tidak tahu menahu soal hal-hal seperti itu. Tapi bentakan orang tersebut terus menggema di kepalaku, sampai aku beberapa kali beralasan sakit agar tidak masuk sekolah karena aku takut ketemu dengan orang tersebut lagi.
Ibuku punya kebiasaan berutang, dan aku tidak tahu kenapa. Tapi tentang aku sering didatangi orang—tidak sekali-dua kali, tapi berkali-kali—itu sudah cukup untukku tahu kalau Ibuku suka berutang, dan aku seringkali ditagih oleh orang yang tidak aku kenal sama sekali.
Pengalaman waktu aku SD, aku pikir akan berhenti seiring dengan selesainya aku bersekolah di bangku SD. Ternyata tidak. Karena ketika aku sudah SMP, cerita penagihan utang terus berlanjut.
Waktu SMP aku sudah mengenal yang namanya media sosial. Dulu yang paling booming sewaktu aku masih SMP adalah Facebook. Dan aku membuat akun FB, meskipun pada saat itu aku suka meminjam HP teman untuk bikin dan login FB.
Sudah pasti dan menjadi kebiasaan orang pada saat itu membuat akun FB dengan nama pribadi secara lengkap—termasuk juga aku. Aku membuat akun FB dengan nama lengkap, dan mengisinya foto pribadi dan aktivitas ekskul sekolah.
Dan mungkin kalian bisa tebak apa yang terjadi dengan akun FB-ku? Ya… Orang-orang yang aku tidak kenal mengirim pesan ke aku, di antaranya ada yang bertanya tentang Ibuku, ada yang bertanya dengan sekolahku, dan ada juga yang langsung menagih utang Ibuku ke aku.
Aku yang tadinya suka bermain media sosial, membuat status, mencari akun FB teman sekolah dan melakukan komunikasi di FB—untuk sementara aku berhenti melakukannya. Kenapa? Karena aku takut ditagih-tagih soal utang.
Dan karena kejadian itu, aku berpikir, bagaimana caranya agar aku bisa tetap bermain media sosial (FB) tanpa harus ketahuan oleh orang lain yang tidak aku kenal? Dan dari situlah muncul kebiasaanku untuk membuat akun media sosial dengan nama asing atau tanpa menggunakan nama pribadi. Aku masih ingat nama akunku dulu: Hasan Al-Kahf.
Ya, Hasan Al-Kahf, adalah nama akun FB-ku dulu. Tapi kalau kamu tanya foto profil yang aku gunakan apa—aku menggunakan foto profil dengan karakter-karakter yang ada di serial anime Naruto. Hahaha… Nama Islami-Foto Profil Akatsuki.
Mau bagaimana lagi, hanya itu yang terpikirkan di kepalaku pada saat itu agar orang-orang tidak mengetahui aku anak siapa. Dan itu berhasil! Aku jadi bisa untuk bermain media sosial dan berinteraksi dengan teman sekolah via media sosial.
Tapi tidak hanya itu dampak dari kebiasaan Ibuku yang suka berutang. Dan karena Ibuku sering berutang dan ditagih oleh mas-mas rentenir—Ibuku memanfaatkanku untuk selalu diam di rumah dan tidak keluar main ke mana-mana.
Kenapa aku disuruh diam di rumah dan dilarang main keluar? Ya, supaya kalau ada orang yang datang ke rumah untuk menagih utang, aku bisa bilang kalau Ibuku tidak ada di rumah. Meskipun pada kenyataannya Ibuku berada di rumah.
Ya, aku diajari untuk berbohong; menutupi masalah. Dan karena itu, aku punya kepribadian yang membenarkan dan membiasakan kebohonganku dengan alasan untuk menutupi masalah. Apa contohnya?
Di keluarga besarku, tidak ada yang tahu aku merokok, aku merokok sejak kelas dua SD. Kalau ada yang bisa aku salahkan, maka itu adalah anak dari temannya Ibuku. Dialah orang yang mengajariku merokok sejak kelas 2 SD.
Bagiku, ketahuan merokok oleh Orang Tua dan keluarga besarku adalah sebuah masalah. Dan karena itu, aku selalu berbohong dengan segala cara agar Orang Tua dan keluarga besarku tidak tahu kalau aku merokok.
Bahkan sampai aku berhenti merokok di kelas dua SMK pun, Orang Tua dan keluarga besarku tidak mengetahui kalau aku merokok.
Jangan berpikir kalau aku sebagai anak tidak memberi peringatan kepada Ibuku agar dia berhenti dari kebiasaannya untuk berutang. Aku sangat berani bilang, kalau aku adalah satu-satunya anak yang terus dan konsisten menegur orang tua terkait utang.
Dan aku selalu mendapatkan respons yang tidak baik bahkan sampai hari ini. Dan sering kali aku menangis setelah mendapatkan respons yang tidak baik.
Aku sering ditegur kalau pemikiranku seperti orang tua, bahkan sampai sekarang ketika usiaku sudah 25 tahun. Dan aku selalu mendapatkan balasan di mana aku selalu dikatakan tidak bisa membayar utang Orang Tua.
“Kamu enggak usah ikut campur! Bisa bayar juga enggak! Ibu berutang untuk kamu!”
Begitulah jawaban Ibuku. Tidak sampai di sana saja. Masalah aku terus merambat ke segala penjuru mata angin sampai mengungkit dan memperhitungkan segala yang pernah Ibuku berikan kepadaku sebagai anaknya sendiri.
“Dulu kamu kuliah di Jawa Timur. Kuliah tidak selesai. Kamu pikir kamu sudah menghabiskan berapa uang? Kamu sudah menghabiskan 35 juta!”
Ya, dulu aku sempat kuliah, meskipun aku tidak menyelesaikannya.
Dulu waktu aku lulus dari SMP, aku punya banyak pilihan untuk melanjutkan sekolah. Aku bisa melanjutkan sekolahku ke SMA, aku bisa lanjut ke MA dan pilihan lainnya adalah aku bisa melanjutkan sekolahku ke SMK.
Kira-kira, kalau kamu sebagai anak yang sering ditegur punya pemikiran orang tua. Kira-kira, kamu akan melanjutkan sekolah ke mana setelah lulus SMP? Kalau kamu jawab SMK—selamat kamu punya pemikiran orang tua. Hahaha…
Kenapa SMK?
Aku memilih SMK, karena aku termakan perkataan orang-orang yang ada di sekitar kalau lulusan SMK bisa langsung kerja. Kalau aku lulus SMK bisa langsung kerja, otomatis aku bisa dapat uang dan tidak bergantung lagi dengan orang tua.
Dan karena itu sudah menjadi pola pikir di kepalaku jika lulusan SMK bisa langsung kerja. Maka aku tidak punya rencana sama sekali untuk berkuliah; sama sekali tidak ada keinginan dan kemauan untuk melanjutkan kuliah. Bisa tahu kenapa?
Ya, benar! Untuk bisa berkuliah, butuh biaya. Dan karena aku tahu kalau kuliah butuh biaya dan kondisi ekonomi orang tuaku miskin, (kalau ada istilah yang lebih rendah dari miskin, aku akan gunakan istilah itu), maka aku putuskan aku tidak mau kuliah.
Tapi lihat apa yang terjadi. Mereka memaksaku untuk kuliah. Di satu sisi aku ingin kerja dan tidak melanjutkan jenjang pendidikan, di sisi lain mereka sangat-sangat memaksaku untuk melanjutkan kuliah.
Dan karena aku didorong terus untuk kuliah di kondisi ekonomi miskin (eh, bantu dong nyari istilah yang lebih rendah dari miskin), maka aku mencari cara untuk bisa berkuliah tapi tidak terlalu membebankan biaya ke orang tua.
Sampai akhirnya, aku mendapatkan beasiswa untuk berkuliah.
Tapi, yang harus kalian ketahui, selain orang tuaku miskin, orang tuaku juga sering mengatakan aku bodoh. Bahkan, dulu waktu SMP guruku pernah bilang, “Kok kamu tidak sepintar kakakmu? Kakakmu itu pintar tahu. Kok kamu berbeda sekali dengan kakakmu?”
Kalau aku bisa menggunakan alasan, ya jelas, aku ini orang bodoh. Orang aku cuma dikasih makan nasi-siram air-campur garam, hahaha. Ya, jelaslah aku bodoh, aku TOLOL. Hahaha… Dan sudah jelas kalian mengetahui nasibku seperti apa.
Seperti apa…? Ya, IP-ku 2 koma, hampir mati. HAHAHA…
Kalian masih ingat kan, kalau aku kuliah dengan beasiswa. Dan kalian pasti tahu kalau dapat beasiswa ada batas minimumnya untuk tetap mendapatkan beasiswa. Dan sekarang kalian sudah tahu kalau aku TOLOL, HAHAHA, ngakak banget hidupku.
Tapi, alasanku berhenti kuliah bukan karena beasiswaku dicabut. Tapi ketika aku dapat nilai dua koma yang hampir mati itu, aku dapat kalimat yang tidak enak dan sangat-sangat mengganggu pikiranku dari Dosen Waliku. Apa kata dia? Dia bilang,
“Kamu dari mana?”
Dari Lombok, Pak.
“Kenapa kamu kuliah di sini? Kenapa enggak kuliah di sana saja? Kamu di sini cuma jadi sampah saja”
Ya Allah, begitu baik dan indah nasibku. Setelah aku sering ditagih sama orang yang tidak aku kenal. Setelah aku sering dikatakan bodoh oleh orang tuaku. Setelah aku dibanding-bandingkan dengan kakakku oleh guruku. Aku dapat ini lagi?
Ke mana lagi aku harus mendengarkan kata-kata baik nan bijak dari lisan orang-orang di atas Ya Allah. Apakah belum cukup untuk mendapatkan kalimat dari manusia? Ataukah Engkau akan cukupkan aku dengan kalimat dari-Mu? Aku baca Ya Allah, aku baca.
Mentalku benar-benar rusak. Aku suka menggunakan nama lain supaya orang tidak mengenal siapa diriku sebenarnya. Aku suka menyembunyikan keburukan yang pernah aku perbuat. Dan sekarang, aku benar-benar tidak berani keluar rumah.
Aku yang sekarang lebih sering mengurung diri di dalam rumah. Aku beberapa kali dibilang gila karena aku kedapatan ngomong sama ayam. Apa aku gila? Entahlah, aku juga tidak peduli.
Aku tidak pernah berani untuk bicara dan bertatapan mata dengan orang lain. Bahkan di rumah aku dibilang sebagai laki-laki “Takut Cewek” karena di kampungku laki-laki seusia sudah punya pacar dan sudah menikah, sedangkan aku tidak.
Ya… begitulah keadaanku sekarang!
Aku sekarang masih pengangguran, dan tidak ada banyak hal yang bisa aku kerjakan. Aku adalah barang cacat. Aku adalah barang rusak. Aku adalah beban. Aku adalah sampah. Hidupku kosong dan tanpa arah. Tidak ada orang yang bisa menyembuhkanku.
Aku bertanya kepada-Mu Ya Rabb, Maukah Engkau memperbaiki hidupku seperti sampah yang jadi bermanfaat setelah didaur ulang?
Aku tahu Engkau mendengarkan ocehanku. Engkau bukan Tuhan yang tuli, bukan pula Tuhan yang buta. Engkau Maha Mendengar, dan aku tahu Engkau sedang mendengar isi hatiku. Engkau Maha Melihat, dan aku tahu Engkau sedang melihat tulisanku. Meskipun, aku tidak bisa melihat dan mendengar jawaban-Mu.
Aku suka membaca. Tapi aku tidak punya uang. Aku masih muda. Tapi aku tidak tahu cara menang. Setiap kali aku berbicara. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Tapi kalau kakakku yang berbicara. Orang-orang mendengarkanku.
Aku punya ilmu, tapi aku tidak punya uang. Kakakku punya uang, tapi tidak punya ilmu. Maksudku, kakakku tidak tahu cara membeli tiket di aplikasi sampai dia harus meminta tolong sama aku. Tapi aku tidak pernah meminta uang kepadanya.
Di sini aku tahu perbedaannya dan aku tahu penyebabnya. Apakah boleh aku mengatakan hakikat manusia adalah uang? Karena orang-orang di rumahku hanya mendengarkan orang yang punya uang. Ataukah mereka penyembah uang? Karena mereka menghalalkan berbagai macam cara untuk tetap dekat dengan uang.
Aku punya ilmu, tapi aku tidak punya uang. Dan kondisiku sekarang adalah tidak didengarkan. Hmm…
Apakah aku bisa punya ilmu dan uang? Seharusnya bisa. Di kondisi mentalku yang sekarang yang suka mengurung diri di dalam rumah, apa yang bisa aku lakukan untuk mendapatkan uang? Aku rasa aku tahu jawabannya.
Ya… menulis. Tapi prosesnya untuk bisa menghasilkan uang lama. Tapi tidak masalah. Setiap kali aku ingin menyerah pada proses, aku akan ingat perlakuan orang-orang kepadaku.
Kalian hanya patuh pada uang dan menolak ilmu, kan? Sekarang aku akan “menyerahkan jiwaku kepada Tuhanku” agar memberikan aku izin untuk menjadi manusia yang berilmu dan beruang, (bukan hewan)!
Saat aku punya cukup banyak uang, yaitu lebih kaya dari semua saudara-saudaraku bahkan jika harta kekayaan mereka digabungkan—di saat itulah aku memanfaatkan harta agar kalian semua mendengarkan dan menerima ilmu. Kalau di antara kalian semua membantah, akan aku katakan kepada kalian,
“Diam, kalian meminta uang dan makan dariku! Diam, aku sudah membayar utang dari apa yang telah kalian nikmati!”
Ini adalah kalimat filsafatku:
Peristiwa hari ini benar-benar membakar jiwaku.
Jiwaku terbakar dan yang tersisa hanyalah ilmu.
Dan aku dapati jiwaku berada di tempat yang tinggi.
Begitulah Tuhan menyelamatkanku dari bara api.
Penjelasan filsafatku:
Kalimat pertama tentang jiwa yang pertama adalah semangat. Setelah aku dibilang tidak bisa membayar utang, tidak punya pekerjaan, tidak usah ikut campur, maka jiwaku (semangatku) terbakar untuk berubah.
Kalimat kedua tentang jiwaku yang kedua adalah pemikiranku tentang menjadi orang berilmu tapi tidak punya uang; tidak masalah. Tapi pandanganku tentang “Tidak masalah tidak punya uang asal punya ilmu” tidak disambut dengan baik. Maka jiwaku yang tidak punya uang benar-benar (aku) bakar dan hanya tersisa jiwaku yang punya ilmu.
Kalimat ketiga tentang jiwa yang ketiga adalah jiwa yang telah punya uang di atas kekayaan saudara-saudaraku atau bahkan keluarga besarku jika digabung. Ketika aku sudah punya banyak uang, orang-orang jadi menghormatiku, orang-orang jadi mendengarkanku.
Kalimat keempat tentang api adalah kesabaranku (atas respons orang-orang) terhadap kondisiku yang miskin. Dalam suatu hadis, disebutkan sabar seperti menggenggam bara api. Kesabaranku atas kemiskinan dan dikaruniai harta adalah atas pertolongan Tuhan. Jadi, seolah-olah Tuhan telah mengeluarkan bara api (miskin) dari genggamanku (hidupku). Maksudku, mengeluarkanku dari kondisi miskin menjadi kaya.
Join the conversation