Satu Langkah Lagi Jadi Penulis Hebat - Step 001
|
| Cerita Abu Sa'ad |
Tiga belas hari. Itu adalah jeda antara ‘Satu Langkah Lagi Jadi Penulis Hebat - Step 00’ dan kelanjutan tulisan ini.
Mengapa begitu lama? Jawabannya tersembunyi dalam labirin kebiasan buruk dan jalan pikiran yang buntu.
Ada banyak alasannya. Pertama, aku tidak tau apa yang ingin aku tulis – benar-benar buntu, tak bisa memikirkan satu kata pun.
Kedua, ketika sebuah ide muncul, aku tidak langsung menuliskannya, karena takut mengganggu proses kreatifku.
Namun, di balik semua alasan itu, ada satu kebiasaan yang paling merusak: media sosial.
Scrolling media sosial berjam-jam bahkan sampai kepalaku pusing. Itulah hal yang menghambatku.
Sekarang aku sedang berpikir bagaimana caraku bisa berhenti.
Mungkin jika aku berhenti beberapa hari, katakanlah 40 hari, ada kemungkinan aku akan menjadi lebih produktif.
Aneh sekali dengan perilaku diriku ini, aku sudah tahu bahwa scrolling social media itu tidak penting, tapi aku tetap saja melakukannya.
Seolah ada perasaan bahwa aku akan kehilangan sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang berguna jika meninggalkan media sosial.
Kenyataannya, ketika aku membuka media sosial, justru aku tidak mendapatkan apa pun yang benar-benar bermanfaat.
Aku hanya menghabiskan waktu untuk tertawa dan kesal menonton konten-konten hiburan dan melihat drama kehidupan orang lain.
Padahal semua itu tidak berdampak baik bagiku, namun aku tetap saja melakukannya.
Bahkan aku sampai membuka media sosial tanpa satu alasan pun yang jelas–hanya buka, scrolling, dan ya, waktu terbuang banyak.
Adakah yang bersedia menghukumku dengan keras agar aku jera bermain media sosial? Oh, God!
Aku merindukan diriku yang dulu, seseorang yang tengah malam bangun, membuka dan membaca buku sampai pemilik rumah sebelah mengeluh kepada Ibuku karena aku membaca dengan suara keras.
Aku merindukan diriku yang dulu, saat teman-teman seusiaku asyik bermain, aku justru sibuk mempelajari hal-hal yang kusenangi hingga lupa waktu, bahkan sampai Ibuku memarahiku karena aku lupa makan.
Aku merindukan diriku yang dulu, ketika banyak orang memujiku sebagai gudang informasi karena aku tahu banyak hal yang sedang mereka bicarakan, dan pemahamanku atas topik yang mereka diskusikan sangatlah dalam.
Aku merindukan diriku yang dulu, pada saat seorang guru yang sangat dihormati memuji tulisanku, bahkan sampai ia sempat ragu dengan usiaku yang jauh dibawah usianya tapi mampu menghasilkan tulisan yang menurutnya sangat bagus.
Aku merindukan diriku yang dulu, dikagumi bukan karena ketampanan atau kelimpahan harta benda, melainkan karena aku kaya akan ilmu dan memiliki kemampuan untuk memoles ilmu sehingga mudah untuk diterima.
Aku yang dulu sangat mudah mengingat berbagai macam informasi, bahkan beberapa kali mendapatkan nilai ujian sempurna.
Tapi apa yang terjadi denganku sekarang? Semua hal yang kubanggakan dari diriku kini hilang, ditelan media sosial.
Apakah salah sosial media itu ada? Tidak bisa juga disalahkan. Maksudku, apakah salah jika pisau itu ada?
Tentu tidak bisa disalahkan. Yang bisa dinilai adalah orang yang memegang dan menggenggamnya, ia pergunakan untuk apa alat tersebut?
Aku selalu menyalahkan diriku sendiri atas segala keburukan yang aku terima hari ini.
Namun, mengapa tidak ada kesadaran dalam diriku untuk memperbaiki diri? Apa yang salah denganku yang sekarang? Adakah kesalahan pada diriku?
Iya, jelas ada!
Aku selalu teringat tentang nasehat orang tua, “tidak ada orang yang jatuh karena batu yang besar”.
Selalu seseorang jatuh dengan batu yang kecil yang tidak dia sadari.
Begitupun denganku, pasti ada hal kecil yang tidak kusadari, tapi apa itu?
Jauh sebelum aku memutuskan untuk menjadi penulis cerita fiksi di usiaku yang ke 25, aku sudah punya keinginan untuk menjadi seorang penulis.
Meskipun pada saat itu aku lebih ingin menjadi penulis buku pengembangan diri.
Sempat terpikir olehku untuk menulis cerita fiksi yang berawal dari beberapa kisah asmara saat aku di bangku sekolah dan kuliah.
Bahkan, aku sampai membaca buku Creative Writing karya A.S. Laksana untuk belajar menulis cerita fiksi.
Tapi waktu itu aku tidak sungguh-sungguh menjadi penulis cerita fiksi karena aku masih berpikiran bahwa aku ingin menulis buku non-fiksi atau buku self-improvement.
Terlebih lagi, saat itu aku sedang mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang Coach, Mentor, atau Trainer.
Itu adalah masa di mana aku sangat terinspirasi untuk menjadi seperti Tung Desem Waringin, Merry Riana, bahkan aku ingin menjadi Tony Robbins yang membantu Tung Desem Waringin dan Merry Riana menjadi seperti sekarang.
Dan aku ingat betul, 5 tahun ke belakang, aku adalah orang yang suka menulis.
Bahkan, aku menulis 1.000 kata setiap hari tanpa terlewat satu hari pun selama 184 hari.
Itulah hari yang menakjubkan dalam hidupku.
Namun, lihatlah diriku yang sekarang! Aku butuh waktu tiga belas hari setelah tulisan hari pertamaku untuk menjadi penulis hebat, baru aku terpikirkan untuk menulis kembali.
AAHHH… Ada apa sebenarnya dengan diriku yang sekarang.
Aku berusaha untuk mencari tahu apa yang menjadi landasan atau alasan seseorang untuk bertindak.
Hal sepele yang tidak kusadari, yang mungkin dulu saat aku berjaya, hal sepele tersebut aku kerjakan.
Tapi apa hal sepele itu?
Tunggu… jangan-jangan, itu adalah ILMU. Ya, benar! Hal sepele yang kuabaikan adalah ilmu.
Apakah selama ini aku bernasib buruk karena menyepelekan ilmu? Sebelumnya aku tidak memandang ilmu itu penting, Ahh… apa itu teori?
Tidak penting!
Bukankah segala sesuatu memiliki landasan teorinya? Teori adalah fondasi dari sesuatu, dengan kata lain, ilmu adalah alasan mengapa kita bisa melihat segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
Dalam Islam, ilmu memiliki akar kata yang sama dengan amal, dan sudah pasti keduanya memiliki hubungan erat: ilmu dan amal, serta amal dan ilmu.
Pasti ada hal yang bisa kita pertanyakan terkait hubungan mereka berdua.
Apa yang terjadi jika seseorang memiliki ilmu tetapi tidak ada amal setelahnya?
Apa yang terjadi jika seseorang melakukan suatu amal tanpa ada ilmu didalamnya?
Dan apa keistimewaan yang seseorang dapatkan jika mereka memiliki keduanya?
Ilmu tanpa amal adalah sia-sia, karena ujung dari ilmu adalah amal.
Amal tanpa ilmu adalah binasa, karena tidak ada bangunan yang berdiri tanpa dasar.
Sedangkan memiliki keduanya adalah alasan mengapa seseorang ada dan bermanfaat.
Apa yang lebih penting dari ilmu? Uang, kah? Menurutmu, bisakah kamu mendapatkan uang tanpa secuil ilmu?
Apa yang lebih penting dari ilmu? Oh, aku tahu jawabannya: yang lebih penting dari ilmu adalah waktu! Apa pesan waktu?
Jika kamu menyia-nyiakan waktu tanpa mengambil satu pelajaran pun (ilmu), maka kamu termasuk orang-orang yang merugi!
Bahkan, waktu yang lebih penting dari ilmu pun sangat menghargai ilmu. Bahkan, waktu kembali kepada ilmu itu sendiri.
Maka, aku tidak setuju ketika banyak orang mengatakan waktu adalah uang. Bagiku, WAKTU ADALAH ILMU.
Sebab, uang mengikuti ilmu dan tidak mungkin ilmu mengikuti uang. WAKTU menghasilkan ILMU, dan dari ILMU datanglah UANG.
Namun, dalam bahasa yang lebih universal: waktu tanpa ilmu akan mendatangkan kesulitan, sedangkan waktu dengan ilmu akan mendatangkan kemudahan.
Sekarang aku mulai memikirkan suatu pandangan. Bisakah aku mengatakan:
Semakin berilmu seseorang, maka semakin mudah baginya melakukan berbagai macam hal.
Maksudku, seseorang yang memiliki banyak ilmu pengetahuan tentang desain bangunan pasti semakin mudah dia mendesain bangunan apapun.
Masih sulit, ya, untuk dipahami? Oke, mungkin aku akan membuatnya semakin mudah atau justru bertambah sulit untuk dipahami. Oke, lupakan!
Intinya: ILMU MENUNTUT AMAL, dan untuk BERAMAL HARUS BERILMU!
Mudah bukan? Jika aku kesulitan dalam menulis, yang mana itu adalah amal seorang penulis, bisa jadi karena aku belum memiliki ilmu layaknya seorang penulis.
Aku sangat yakin kemudahan amal seseorang ditentukan oleh ilmu.
Kesimpulannya, aku bisa kembali berjaya seperti dulu kalau aku punya ilmu.
Maka, untuk bisa menjadi penulis hebat, setiap langkahku akan kuisi dengan ilmu.
Dengan kata lain, “Satu Langkah Lagi Jadi Penulis Hebat” adalah cerita belajarku untuk menjadi seorang penulis hebat di 3 genre: Mystery, Psychological, Thriller.
Join the conversation